Bukti Ketidakbenaran Adanya Tuhan!

Hati-hati jangan anda terpeleset membaca judul tulisan ini.



Sudah begitu banyak saya melihat buku-buku yang judulnya diawali dengan kata “bukti“ tentang kebenaran adanya Tuhan. Dan beberapa diantaranya juga sudah saya baca. Dan juga tidak henti-hentinya disirakan di TV, radio dan koran tentang ditemukannya berbagai gejala alam yang ujung-ujungnya dikatakan sebagai bukti tentang kebenaran adanya Tuhan. Tapi ….

Yang membuat saya heran, kenapa manusia begitu gigih dan keras kepalanya untuk membuktikan adanya Tuhan? Apakah Tuhan begitu hausnya akan pengakuan manusia? Kenapa tidak ada yang menyatakan sebaliknya? Itulah alasan saya menulis postingan ini. Inilah bukti “ketidakbenaran” adanya Tuhan.

Pertanyaan saya sekarang,
Yakinkah anda bahwa saya bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada?
Sebelum anda menjawab, izinkan saya membantu menjawabnya.
“Omong kosong bung Erianto Anas! “

Tapi sebaliknya izinkan pula saya menjawab, yakinkah saya segala apa yang ditulis dan disiarkan di mana-mana bahwa sudah banyak ditemukan bukti akan adanya Tuhan?

Saya jawab:
“Juga omong kosong!”

Lho?

Bagi saya, ini pendapat saya (boleh kan?), adalah suatu kesombangan jika ada manusia yang mengaku sudah menemukan bukti adanya Tuhan. Apalagi mengaku sudah menemukan Tuhan itu sendiri. Kenapa? Karena seolah-olah Tuhan sedang bersembunyi di suatu tempat lalu setelah dicari-cari, ternyata Dia ditemukan disebuah goa.

Jika memang Tuhan diyakini Maha segalanya, maka tidak ada yang akan bisa menemukannya. Karena perangkat yang ada pada diri manusia sangatlah terbatas untuk menangkap Tuhan yang Absolut tidak terbatas. Yang melampaui segala ukuran. Melampaui segala dimensi. Melampaui segala perangkat yang ada pada seisi alam. Termasuk yang mengaku menemukan Tuhan dalam hati. Maaf. Hati itu juga termasuk benda alam yang terbatas.

Itu bagi yang mengakui bahwa Tuhan ada dan Tuhan itu Maha segalanya. Sekarang bagi yang menolak adanya Tuhan. Atau Atheis. Yakinkah saya bahwa Tuhan itu tidak ada? Jawaban saya adalah: omong kosong untuk pernyataan saya!

Kenapa juga omong kosong?
Karena untuk menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada saya juga harus membuktikannya. Nah, menurut anda apakah mungkin saya bisa membuktikannya? Menurut saya sangat tidak mungkin.

Jadi kesimpulan sewenang-wenang saya adalah, yang mengatakan Tuhan ada dan tidak ada sama tidak bisa diterima oleh akal. Silahkan anda putar akal sampai berapa keliling, tapi jangan emosi ya. Dan jangan mengutip klaim-klaim keyakinan apa pun. Karena di sini kita sedang mencoba berpikir. Nanti setelah diskusi silahkan anda pakai lagi keyakinannya masing-masing. Sama seperti saya yang juga selalu ditegur oleh isteri saya untuk sholat setiap saya terlena di depan komputer. Tidak ada yang akan melarang bahkan tidak boleh dilarang anda memeluk keyakinan anda. Mestinya begitu.

Kenapa saya anjurkan tidak mengutip klaim keyakinan?
Karena kalau membawa klaim ke ruang diskusi, maka itu artinya kita sudah membuang-buang waktu. Tidak ada gunanya. Kenapa kita tidak saling membuka kitab suci saja di rumah kita masing-masing? Yang isinya jelas jauh lebih lengkap dari apa yang kita kutip. Bukan saya bermaksud melecehkan kitab suci. Tapi mbok ya tahu konteks lah. Ini kan diskusi sobat. Kalau duskusi ya bawa nalarlah. Jangan membawa iman ke meja diskusi. Karena iman tidak bisa didiskusikan. Iman cukup diruang kesunyian kita masing-masing. Karena menurut saya iman bukan untuk diproklamirkan. Tapi untuk dihayati secara mendalam di kamar meditasi kita. Tidak perlu orang tahu.

Oke saya kembali.

Jadi Tuhan, menurut saya tidak bisa dibuktikan. Baik yang menyatakan ada maupun yang menyatakan tidak ada. Lalu apa selanjutnya? Jika ingin lebih jujur, kita semua akhirnya harus tutup mulut soal Tuhan. Seperti ditulis Wittgenstein:

Katakanlah hanya apa yang bisa dikatakan

Hati-hati jangan sampai terpeleset. Ini penalaran yang sangat licin.

Secara empiris dan ontologis (yang sebenarnya atau yang hakiki), tidak ada yang tahu apalagi yang bisa membuktikan akan adanya Tuhan.

Yang ada hanya, manusia “meyakini” adanya Tuhan. Atau “meyakini” tidak adanya Tuhan. Kenapa hanya meyakini? Karena keduanya bukan berdasarkan pembuktian. Hanya berdasarkan hati, insting, naluri, atau apapun istilahnya yang jelas bukan konstruksi pikiran.

Apakah ini artinya saya merendahkan agama dan Tuhan?
Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan soal nilai. Soal nilai moral. Sedangakan kita bukan sedang kuliah moral dan menilai tingkah laku. Tapi kita sedang mengkaji. Sedang berpikir. Sedang menganalisa. Berpikir kritis jangan selalu disandingkan dengan justifikasi moral, apalagi spiritual.

Ketika saya katakan mislanya, "keyakinan anda tidak masuk akal oleh saya. Sebab bla bla dan seterusnya". Ini tidak bisa dikatakan saya tidak bermoral. Tapi ketika saya katakan "pandangan anda ini sesat dan anjing". Nah yang ini baru tergolong tidak bermoral.

Okey saya kembali lagi…

Jika saya katakan Tuhan tidak lagi bisa menjadi kosa kata kita, lalu untuk apalagi kita diskusi soal Tuhan? Jawaban saya tentu saja sangat manusiawi kita senang membicarakan tentang Tuhan. Karena kita ada akal, yang sejauh saya rasakan maunya akal memang untuk berpikir. Terus dan terus. Memikirkan apa saja tanpa batas. Termasuk tentang Tuhan. Kita tetap butuh eksplorasi pikiran terus menerus menerjang sampai membentur batas-batas pikiran yang kita tidak tahu sampai dimana batasnya.

So, bagaimana menurut anda?

tulisan ini di sadur dari blogernas.co.cc

No comments

PILIH PLATFORM KOMENTAR DENGAN MENG-KLIK

Powered by Blogger.